Beranda | Artikel
Mendoakan Kebaikan untuk Pemerintah
9 jam lalu

Di tengah dinamika sosial dan politik yang kompleks, banyak orang dengan mudah melontarkan kritik dan caci maki terhadap pemerintah. Banyak yang menganggap bahwa hal itu adalah suatu keberanian dan kebebasan berpendapat. Mereka lupa dan lalai bahwa cara seperti itu bisa memperburuk keadaan yang ada.

Islam adalah agama yang menuntun pemeluknya untuk menegakkan keadilan, namun tetap menjaga persatuan dan ketertiban. Karena itu, nasihat kepada pemimpin dilakukan dengan cara yang santun. Doa kebaikan untuk mereka menjadi salah satu tanda hati yang bersih dan cinta terhadap kemaslahatan umat.

Doa untuk pemimpin bukan sekadar formalitas yang dilantunkan dalam khotbah Jumat. Ia adalah bagian dari akhlak seorang mukmin, wujud cinta terhadap negeri, dan tanda keimanan kepada Allah yang Maha Mengatur. Sebab, jika pemimpin baik, maka rakyat akan merasakan dampaknya. Namun jika pemimpin rusak, maka kerusakan itu akan berdampak pada kehidupan masyarakat.

Doa untuk pemimpin adalah perintah syariat

Mendoakan pemerintah dan pemimpin bukanlah sekadar etika sosial, tetapi tuntunan agama yang bersumber dari Al-Qur’an, hadis, dan amalan para salafus shalih. Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59)

Ayat ini menjadi pondasi hubungan antara rakyat dan pemimpin. “Ulil amri” yang dimaksud mencakup para penguasa, pemerintah, dan penegak hukum, mereka yang Allah amanahkan untuk mengatur urusan manusia.

Ketaatan kepada pemimpin dalam perkara yang bukan maksiat adalah bentuk ketaatan kepada Allah. Maka, mendoakan kebaikan untuk mereka juga bagian dari ketaatan, karena dengan doa itu kita memohon kepada Allah agar mereka diberi petunjuk, keadilan, dan kebijaksanaan dalam memimpin.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan akhlak mulia dalam menyikapi pemimpin, bahkan sekalipun mereka tidak sempurna dan bahkan berbuat kezaliman. Dalam sebuah hadis disebutkan,

خِيارُ أئمَّتِكُمُ الَّذينَ تحبُّونَهُم ويحبُّونَكُم وتُصلُّونَ علَيهِم ويصلُّونَ علَيكُم وشرارُ أئمَّتِكُمُ الَّذينَ تبغَضونَهُم ويبغَضونَكُم وتَلعنونَهُم ويَلعنونَكُم قُلنا : يا رسولَ اللَّهِ أفلا نُنابذُهُم ؟ قالَ : لا ما أقاموا فيكُمُ الصَّلاةَ ألا مَن وليَ علَيهِ والٍ فرآهُ يأتي شَيئًا مِن معصيةِ اللَّهِ فليَكْرَهْ ما يَأتي مِن معصيةِ اللَّهِ ولا ينزِعَنَّ يدًا مِن طاعةٍ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.”

Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah boleh kami memerangi mereka?”

Beliau menjawab, “Tidak, selama mereka masih menegakkan salat di tengah kalian. Ketahuilah, siapa saja yang dipimpin oleh seorang penguasa lalu ia melihat penguasa itu melakukan maksiat kepada Allah, maka hendaklah ia membenci perbuatan maksiat itu, tetapi janganlah ia mencabut ketaatan dari penguasa tersebut.” (HR. Muslim)

Mengapa kita harus mendoakan pemerintah?

Kebaikan pemimpin adalah kebaikan rakyat

Pemimpin adalah cermin masyarakatnya. Jika pemimpin baik, maka kebijakan, keamanan, dan kesejahteraan akan ikut baik. Jika pemimpin rusak, maka rakyat pun ikut menderita. Oleh karena itu, mendoakan pemimpin berarti mendoakan diri kita sendiri.

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Demikianlah Kami jadikan sebagian orang zalim berkuasa atas sebagian yang lain, disebabkan perbuatan dosa yang mereka lakukan.” (QS. Al-An‘am: 129)

Ayat ini menjadi pengingat bahwa pemimpin yang Allah berikan adalah cerminan kondisi rakyat. Jika kita ingin pemimpin yang lebih baik, maka mulailah dengan memperbaiki diri dan memperbanyak doa, bukan dengan mencaci.

Mendoakan lebih baik daripada mencaci

Banyak orang menghabiskan waktu di media sosial hanya untuk mencaci pemerintah, tanpa sadar bahwa kata-katanya bukan solusi, bahkan menjadi dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ

“Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, berkata keji, dan berkata kotor.” (HR. Tirmidzi)

Mendoakan pemimpin agar menjadi lebih baik itu jauh lebih bermanfaat daripada mencaci mereka. Karena doa adalah bentuk kontribusi nyata yang tidak hanya menjaga lisan, tapi juga menumbuhkan harapan akan perubahan.

Menjaga persatuan dan menghindari kekacauan

Islam sangat menekankan pentingnya persatuan umat dan larangan untuk memberontak kepada pemimpin Muslim selama mereka masih menegakkan salat dan tidak menampakkan kekufuran nyata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَن رَأَى من أمِيرِهِ شيئًا يَكْرَهُهُ فلْيَصْبِرْ عليه ، فإِنَّهُ ليس أحدٌ يُفارِقُ الجَماعةَ شِبْرًا فيَموتُ ، إِلَّا ماتَ مِيتةً جَاهِلِيَّةً

“Barang siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar, karena siapa saja yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin sejengkal saja, lalu ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan mendoakan kebaikan bagi pemerintah, kita menjaga kestabilan, bukan menambah kekacauan. Doa dari rakyat yang tulus jauh lebih besar pengaruhnya daripada cercaan dari ribuan komentar di dunia maya ataupun dengan cara demo yang bisa menyebabkan kekacauan dan kerusakan.

Adab dalam menasihati pemimpin

Islam memberi ruang bagi umat untuk menasihati pemimpin, tetapi dengan adab dan cara yang santun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَن أرادَ أن ينصحَ لذي سلطانٍ في أمرٍ فلا يُبدِهِ عَلانيةً ولَكِن ليأخذْ بيدِهِ فيَخلوَ بهِ فإن قبِلَ منهُ فذاكَ وإلَّا كانَ قد أدَّى الَّذي علَيهِ لَهُ

“Barang siapa yang ingin menasihati penguasa dalam suatu urusan, maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan. Tetapi hendaklah ia memegang tangan penguasa itu, lalu menyendiri dengannya (memberi nasihat secara sembunyi). Jika ia menerima nasihat tersebut, maka itulah yang diharapkan. Namun jika ia tidak menerimanya, maka orang itu telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, Ahmad, Hakim, dan Ath-Thabrani)

Nasihat yang dilakukan dengan lembut lebih mudah diterima daripada caci maki di depan umum. Inilah adab yang diajarkan oleh para ulama salaf, menasihati tanpa mempermalukan, menegur tanpa menjatuhkan.

Meneladani contoh terbaik

Para ulama salaf adalah contoh terbaik dalam menyikapi penguasa. Mereka dikenal tegas dalam prinsip, tapi lembut dalam ucapan. Mereka berani menasihati, tapi tidak suka mencaci.

Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata,

لَوْ كَانَ لِي دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ لَجَعَلْتُهَا لِلسُّلْطَانِ

“Jika aku memiliki satu doa yang pasti dikabulkan, maka aku akan tujukan doa itu untuk penguasa.” [1]

Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata,

إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَدْعُو لِلسُّلْطَانِ بِالصَّلَاحِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ سُنَّةٍ، وَإِذَا رَأَيْتَهُ يَدْعُو عَلَيْهِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ هَوًى

“Jika engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi penguasa, ketahuilah bahwa ia pengikut sunah; namun jika engkau melihatnya mendoakan keburukan, ketahuilah bahwa ia pengikut hawa nafsu.” [2]

Imam Ahmad rahimahullah, meskipun hidup di masa penguasa zalim yang memaksakan paham sesat (fitnah “Al-Qur’an adalah makhluk”), tetap bersabar dan tidak pernah menghasut rakyat untuk memberontak.

Sikap para ulama adalah pelajaran penting bahwa doa, kesabaran, dan nasihat yang lembut lebih bermanfaat daripada pemberontakan dan kebencian.

Manfaat Mendoakan Pemimpin

Pertama: Menumbuhkan cinta terhadap keadilan dan kebaikan. Dengan mendoakan, hati kita terlatih untuk berharap kebaikan, bukan keburukan bagi sesama.

Kedua: Menjauhkan dari dosa gibah dan fitnah. Lisan yang sibuk berdoa tidak akan sibuk mencela.

Ketiga: Mengundang keberkahan dan keamanan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اثْنَتَانِ مَا ظَهَرَتَا فِي قَوْمٍ إِلَّا عُذِّبُوا: الْبَخْسُ فِي الْمِكْيَالِ وَالْمِيزَانِ، وَالْجَوْرُ مِنَ الْوُلَاةِ

“Dua hal, jika muncul di suatu kaum, maka mereka akan diazab: curang dalam takaran dan timbangan, serta zalimnya para pemimpin.” (HR. Ahmad)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

والأئمة لا يقاتلون بمجرد الفسق، وإن كان الواحد المقدور قد يقتل لبعض أنواع الفسق كالزنا وغيره، فليس كل ما جاز فيه القتل جاز أن يقاتل الأئمة لفعلهم إياه، إذ فساد القتال أعظم من فساد كبير يرتكبه ولي الأمر.

“Para pemimpin (penguasa) tidak boleh diperangi hanya karena kemaksiatan (atau kefasikan) semata. Meskipun seseorang dari rakyat yang mampu ditindak, mungkin boleh dihukum mati karena sebagian jenis maksiat, seperti zina dan lainnya, namun tidak berarti setiap perkara yang mengandung hukuman mati boleh dijadikan alasan untuk memerangi para pemimpin. Sebab, kerusakan (dampak buruk) dari memerangi pemimpin itu jauh lebih besar daripada kerusakan maksiat besar yang dilakukan oleh seorang penguasa.” [3]

Maka, ketika rakyat berdoa agar pemimpinnya adil, mereka sejatinya sedang memohon agar azab dijauhkan dari negeri mereka.

Di zaman media sosial, banyak yang lebih mudah menekan tombol “komentar” daripada menengadahkan tangan untuk berdoa. Padahal, perubahan besar sering dimulai dari doa yang tulus.

Kritik bisa membangun, tetapi jika tanpa adab, ia hanya menambah kebencian.

Sebaliknya, doa yang tulus untuk pemimpin dapat mengetuk pintu langit dan mengubah keadaan yang tampaknya mustahil.

Mendoakan pemimpin bukan berarti membenarkan semua tindakannya. Namun, itu adalah bentuk kematangan iman. Karena orang yang mencintai kebaikan bagi pemimpin, sejatinya sedang mencintai kebaikan bagi umat.

Maka, mari kita renungkan dari banyaknya kata yang keluar dari lisan dan jari kita setiap hari, berapa kali kita mendoakan pemerintah agar diberi hidayah dan taufik?

Semoga Allah memperbaiki keadaan para pemimpin kita, menjadikan mereka adil, bijak, dan takut kepada-Nya; serta menjadikan rakyatnya sebagai penolong dalam kebaikan, bukan sumber fitnah dan kebencian.

اللهم أصلح وُلاةَ أمورِنا، ووفّقهم لِما تُحبُّ وترضى، واجعلهم رحمةً على رعاياهم، وهيّئ لنا من أمرنا رشدًا

“Ya Allah, perbaikilah para pemimpin kami, bimbing mereka kepada apa yang Engkau cintai dan ridai, jadikan mereka rahmat bagi rakyatnya, dan anugerahkan kepada kami jalan yang lurus dalam urusan kami.”

Wallahu a‘lam bish shawab.

Baca juga: Mencela dan Menjelek-Jelekkan Penguasa (Pemerintah)

***

Diselesaikan di Kupang, 1 Jumadil akhir 1447

Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Syarh Sunnah lil Barbahari, karya Syekh Abdul Aziz bin Abdillah Ar-Rajhi, 14: 6; melalui Maktabah Syamilah.

[2] Syarh as-Sunnah, hal. 113.

[3] Op, Cit.


Artikel asli: https://muslim.or.id/110949-mendoakan-kebaikan-untuk-pemerintah.html